Resep Wedhang Uwuh Yang Menghangatkan Dan Menyegarkan Badan
Tak terasa saya sudah berada di Jogja selama 3 hari. Walau sudah 3 hari, rasa kangen dengan keluarga masih belum cukup terobati. Waktu rupanya berjalan begitu cepat. Padahal sebelumnya, kurang lebih 2 bulan, terasa begitu lama dalam menantikan hari H keberangkatan untuk segera mudik. Maklum saja, selama pandemi ini baru pertama kalinya saya bisa merasakan pulang kampung lagi.
Hari keempat di Bantul Jogjakarta, saya diajak keluarga Mbak Prapti berkunjung ke rumah saudaranya di kawasan Kulon Progo. Bersama kelima anaknya di dalam mobil, saya merasakan bahagia. Tidak menyangka, anak pertamanya perempuan, dulu masih kecil ternyata sekarang sudah duduk di bangku SMP kelas 1. Anak keduanya, perempuan juga, duduk di bangku kelas 4 SD. Anak ketiganya laki-laki, sudah duduk di TK kelas B. Anak keempatnya, perempuan kembali, masih berumur 4 tahun tapi sudah cerdas dan nampak lebih dewasa dibanding anak-anak seumurannya. Nah, yang bungsu masih unyu-unyunya belum genap usia 1 tahun berjenis kelamin laki-laki.
Suka ria menuju rumah simbah menghiasi wajah anak-anak. Perjalanan sangat lancar. Tidak seperti di kota-kota besar yang sering mengalami kemacetan. Melihat wajah kota Bantul kini, sudah banyak berubah. Perempatan Klodran ke arah selatan, dulunya teduh terdapat banyak pohon besar yang rindang. Namun sekarang terasa "prampang" alias panas silau ketika musim kemarau. Penebangan pohon-pohon besar yang sudah tua, mungkin dimaksudkan untuk menghindari dampak bencana puting beliung saat masuk musim penghujan.
Setelah menempuh perjalanan beberapa kilometer, kami mampir membeli tahu goreng yang mirip dengan tahu Sumedang. Rasanya gurih. Teksturnya garing di luar tapi lembut di dalam. Ditambah lagi dengan lalap cabai hijau yang membuat kami susah berhenti untuk menyantapnya.
Berhubung bocil keempat merengek-rengek terus pengen dawet ireng, maka kami singgah di kedai kecil dawet ireng. Rupanya kedai tersebut menjadi langganan keluarga Mbak Prapti ketika hendak bersilaturahim dengan keluarganya di Kulon Progo. Keberadaan kedai ini rupanya sudah lumayan lama. Tak heran banyak orang yang sudah mengenal dawet ini. Lain halnya dengan saya yang sudah hampir 7 tahun tinggal di Bandung. Meski asli orang Bantul, justru malah tidak tahu menahu keberadaan dawet ini. Semangkuk dawet berwarna hitam hanya dihargai 4 ribu rupiah. Murah meriah namun rasanya enak, segar dan cukup mengenyangkan.
Setelah beres menyantap dawet ireng, kami juga singgah ke outlet ayam krispi. Kali ini, anak kedua kepengen dibelikan ayam krispi yang kriuk sebagai bekal menu santap siang.
Dan setelah sampai di lokasi tujuan, kami berkumpul dan bercengkerama di teras rumah. Suasananya asri penuh dengan pepohonan rindang khas seperti kampung di Bantul. Pohon-pohon kelapa mudah kita jumpai di daerah ini. Hanya saja, hawa di Jogja kala itu terasa gerah. Mungkin karena mulai memasuki masa pancaroba, ada penyesuaian suhu akan pergantian dari musim kemarau ke musim penghujan.
Anak-anak bermain, berlarian ke sana ke mari penuh dengan suka cita. Main pasir, petak umpet dan lainnya. Berbeda dengan kebanyakan anak jaman sekarang seusianya, ketika kumpul dengan keluarga malah sibuk dengan gadgetnya masing-masing.
Dan sekitar pukul 14.00 WIB kami bersama-sama dengan keluarga Kulon Progo ngabring ke tegal yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah. Tegal yang dimaksud adalah sebutan lahan luas yang digunakan untuk bercocok tanam berbagai macam sayuran. Ada pohon kelapa, jagung, padi, kangkung, bayam, cabai, kacang panjang dan lainnya. Selain untuk bercocok tanam, beberapa lahan tegal ada yang dipakai untuk ternak sapi dan domba. Lokasi ini kurang lebih berjarak 500 meter dari bibir pantai selatan.
Setelah selesai memetik kacang panjang dan beberapa jenis sayuran lainnya, kami bergegas pulang. Ketika waktu ashar sudah tiba, saya dan keluarga Mbak Prapti harus lekas berkemas untuk pulang ke Bantul. Kami berpamitan, dan langsung otw lagi.
Sepanjang perjalanan pulang, saya menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan raya. Terlihat banyak pohon kelapa. Sungguh, pemandangan seperti ini sulit dijumpai di daerah rumah saya di Bandung.
Tak lupa kami singgah ke kedai kecil untuk membeli geblek. Geblek merupakan salah satu makanan khas dari Kulon Progo yang terbuat dari pati singkong, diberi bumbu kemudian digoreng. Geblek sendiri sangat mirip dengan cireng makanan khas dari Jawa Barat. Biasanya, geblek berbentuk angka 8. Makan geblek paling nikmat jika ditambah mendoan tempe koro. Anak-anak begitu menikmatinya. Namun, setelah menyantap beberapa keping, mereka tidur pulas hingga sampai ke rumah.
Setibanya di rumah, hujan turun dengan derasnya. Seusai membersihkan badan dan sholat maghrib, saya menantikan masakan ibu yakni bakmi godog yang sudah lama tidak saya rasakan. Sementara itu, adik perempuan saya membuat wedhang uwuh.
Wah sungguh nikmat sekali.... Di saat hujan deras, hawa dingin, menyantap bakmi godog dengan wedhang uwuh sungguh pasangan menu yang serasi. Moms, tau kan wedhang uwuh dan manfaatnya? Yup betul. Sajian minuman tradisional khas Jogja yang terdiri dari rempah dan rimpang. Saya pernah mengulas beberapa manfaat rempah dan rimpang bagi tubuh. Moms bisa lihat di sini ya.
Komposisi wedhang uwuh |
Wedang uwuh ini, terdiri dari gula batu, kayu secang, jahe, gagang dan daun cengkeh, manis jangan dan pala. Rasanya? Wow enak, seger dan menghangatkan badan tentunya.
Cara membuatnya juga gampang banget moms. Tinggal direbus saja. Setelah mendidih, saring dan siap dinikmati. Warna merah pada wedang ini berasal dari kayu secang moms.
Komentar
Posting Komentar
Mohon berkomentar yang berkaitan dengan artikel. Dilarang untuk berkomentar berbau sara. Terimakasih.